Saya yakin, banyak dari kita yang sudah banyak belajar tentang ilmu parenting.
Nah tapi kebanyakan adalah belajar ‘ tentang ’ parenting, bukan belajar PARENTING .
Kalau kalimatnya memakai partikel ‘tentang’ orientasinya hanya sebatas pemahaman,
Jika tanpa partikel tentang, maka makna dari ‘belajar parenting’ itu sendiri fokus pada solusi, langkah- langkah atau How to. Intinya bukan hanya paham tapi juga LAKUKAN .
Begitulah pernyaataan pembuka dari Drs. H Bambang Setawan, M.,M , yang akrab disapa Pak Bambang pada webinar parenting sesi dua kemarin.
Ini juga yang menjadi goals utama ketika ikut serta pada webinar ini, yaitu bukan perihal mendapatkan apa yang belum diketahui, tapi bagaimana dengan materi ini kita semua mendapatkan sesuatu yang bisa kita LAKUKAN.
Di masa-masa dirumah aja ini, kita para orangtua pasti lebih banyak digiatkan dengan masalah kejenuhan anak di rumah, sulitnya menyuruh anak belajar mandiri, mengatur penggunaan handphone, peer banyak, sampai akhirnya stressed; bukan hanya sianak tapi juga orangtua,
Alhasil, apalagi selain kesal dan nangis? Orang tua pasti marah. Ah, lebih tepatnya marah-marah. Iya kan ?
Pada akhirnya kita tidak akan menemukan makna ' indahnya kebersamaan ' karna pola komunikasi antar keluarga tidak berjalan baik, anak marah ibu marah, ayah marah semua marah-marah.
Bagi ruang keluarga yang sudah lama kesepian ini waktu yang sangat berharga lho,
Tapi, apa daya, marah marah membuat kita merasa tidak lebih baik dengan berkumpul bersama keluarga.
Lalu, bagaimana agar supaya tidak mudah marah-marah? Agar supaya kebersamaan tetap indah?
Dari webinar parenting tersebut, saya mengulas beberapa hal.
Pertama, yaitu soal pola komunikasi.
Yang kita sadari, kebanyakan dari orangtua ketika berbicara dengan anak lebih sering bahkan memang hanya bertanya perihal
Udah makan belum?
Udah mandi belum?
Tugasnya bagaimana?
Jangan main hape terus!
Belajar yang rajin!
Itu beberapa pernyataan dan pertanyaan yang hanya menggambarkan keinginan orangtua, ekspetasi orangtua BUKAN menggambarkan kehidupan sianak.
Jelaslah, jika pola komunikasi ini terjadi tanpa ada bagaimana membangun relasi/ kedekatan terlebih dahulu dengan anak, pernyataan maupun pertanyaan semacam ini sangat menjenuhkan bagi anak.
Anak pasti akan cenderung menghindarinya, tidak mendengar, kesal bahkan sampai marah.
Sebenarnya, yang sangat ia inginkan dalam hidupnya hanya ada 5 hal, pertama main, kedua main, ketiga main, keempat main, dan kelima MAIN juga.
Sangat bertentangan bukan?
Tapi ini akan jadi pola komunikais yang sangat mudah, jika kita merespon semua hal dengan terlebih dahulu memahami keinginan / maksud anak.
Poin kedua yang saya catat ialah tentang-- bagaimana Mengendalikan MARAH itu sendiri.
Kita akan cenderung menghindarinya ketika kita tahu apa saja dampak buruknya,
Ketika kita membentak anak, menghakimi, menghukum dan ekspresi marah-marah lainnya akan banyak dampak buruk yang terjadi pada anak, beberapa diantaranya seperti muncul ketidakpercayaan pada orangtua, anak akan depresi, tertutup, prestasi menurun, dan bahkan bisa jadi anak menjadi seorang pemarah karna melihat contoh dari orangtuanya sendiri, kalau kata Pak Wasmin kemarin 'Uyah moal tees ka luhur’. Ngeri kan?
Jadi, untuk bisa mengendalikan keinginan MARAH , kita harus memahami terlebih dahulu kalau pikiran dan perasaan itu BAGIAN dari kita, BUKAN kita.
Dengan mendefinisikan begitu, kita akan mudah mengendalikannya.
Lebih lanjut perihal bagaimana cara mengendalikan, Pak Bambang menceritakan sebuah kisah,
Di sudut sebuah kampung terlihat ada anak yang sedang duduk dipinggir got bajunya basah kotor dan kemudian ia duduk sambil membuang-buang beras ke dalam got tersebut. Dari jauh orangtua yang baru pulang mendekati dengan mata melotot Ia langusng mengambil anaknya dan melarang membuang beras dengan nada tinggi seperti mengancam.
Sangat jelas betapa marahnya si orangtua tersebut.
Kisah kedua, terjadi pada orang tua yang berbeda,
Orang tua yang ini ketika melihat anaknya membuang beras ke dalam got tersebut ia mendekati duduk sejajar dengannya kemudian dengan ramah ia bertanya pada sianak, dan taukah sianak menjawab bahwa ia sedang memberi makan pada makhluk-makhluk Allah yang ada di got tersebut. Orangtuanya terharu ia menggendong dan emmeluk anaknya kemudian menjelaskan yang sebenarnya.
Sangat berbeda, jelas berbeda. Bagaimana gambaran orangtua yang bisa mengendalikan marah dan tidak bisa mengendalikan marah.
Dari cerita tersebut, sebenarnya untuk mengendalikan marah hal yang terpenting ialah mengubah PENAFSIRAN kita yang kemudian akan mengubah respon kita terhadap anak.
Pada contoh pertama, orangtua langsung menafsirkan bahwa sianak sedang membuang-buang beras ke got, dan itu mubadzir, dosa.
Berbeda dengan contoh cerita yang kedua, orangtua tidak banyak menafsirkan terlebih dahulu-- sebelum bertanya dan akhirnya paham apa yang dimaksud sianak.
Jadi bagaimana polanya?
mari kita praktikan!
Ketika kita melihat sesuatu yang tidak kita harapkan atau tidak sesuai yang kita inginkan sebagai orangtua, tahan dulu tenang dulu jangan dulu berinterepetasi, lihat saja, kemudian dengar, jangan langsung merespon; hampiri anak lebih dekat,
Setelah kita melihat dan mendengar dengan baik, lalu lakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Akan ada cara merespon yang lebih baik, selain marah.
Yuk, duduk dulu sebentar!
April, hari kedua puluh dua
Dirumah aja,
Widy
Comments